top of page
Cari
Gambar penulisBRANI

BOYS DON’T CRY: Berkenalan dengan Toxic Masculinity (Part.1)


Boys don't cry film


Maskulinitas secara umum dipahami sebagai nilai-nilai sosial yang mengatur bagaimana seorang laki-laki seharusnya (dan tidak seharusnya) bersikap dan berperilaku di mata masyarakat. Dari sana lahirlah kriteria panjang bibit bebet bobot seorang laki-laki sejati yang harus dipenuhi oleh setiap laki-laki. Buku “The Guy’s Guide to Feminism” menganggap bahwa laki-laki yang maskulin biasanya identik dengan legitimasi, kepemimpinan dan otoritas. Jika seorang laki-laki tidak mampu mengatur dan memimpin, maka bersiaplah akan konsekuensi sosial yang musti ditanggung. Nah, dari sinilah konsep Toxic Masculinity akhirnya popular dikalangan kita.


Sebenarnya konsep Toxic Masculinity sudah beredar sejak lama. Istilah Toxic Masculinity, pertama kali digunakan oleh seorang psikolog, Shepherd Bliss di tahun 1980-an. Bliss memisahkan sifat-sifat negatif pria dari sifat-sifat positif, dan menggunakan istilah "Toxic Masculinity" sebagai cara untuk membuat perbedaan. Ciri-ciri yang didefinisikan Bliss sebagai "toxic” atau “beracun" termasuk:

  • Penghindaran ekspresi emosional;

  • Aspirasi berlebihan untuk dominasi fisik, seksual, dan intelektual; dan

  • Devaluasi terhadap opini, tubuh, dan perasaan diri perempuan.

PENGHINDARAN EKSPRESI EMOSIONAL ? MAKSUDNYA ?


Perlahan tapi pasti, nilai-nilai maskulinitas seperti penghindaran ekspresi emosional akan menggerogoti jiwa laki-laki dan membuatnya menjadi rentan stress dan depresi. Begini ilustrasinya;


Bayangkan jika kamu adalah seorang laki-laki dengan seorang istri dan anak. Menurut konsep pembagian kerja gender tradisional, seorang laki-laki bekerja mencari nafkah dan perempuan tinggal di rumah mengurus rumah dan anak-anak. Karena sudah terpapar konsep gender tradisional, kamu mengikuti aturan sosial itu dan bekerja keras setiap hari, mulai pagi hingga malam untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Namun tiba-tiba perusahaan tempat kamu kerja bangkrut dan kamu diPHK. Karena nilai-nilai maskulinitas yang kamu yakini bahwa laki-laki itu harus kuat dan tidak boleh menunjukan perasaannya, kamu merahasiakan situasimu dari istri dan anak. Lebih baik berbohong daripada terlihat lemah, begitu pikirmu.


Sebagai laki-laki yang harus menjadi penyelesai masalah, kamu bertekad untuk diam-diam mencari pekerjaan baru. Namun, jaman sekarang mencari kerja bukan hal yang mudah. Kian hari istrimu semakin curiga karena bukan uang yang anda bawa, malahan tagihan hutang minyak dan beras dari toko sebelah. Hidup semakin sulit, tetapi kamu urung bercerita. Kamu semakin dihantui rasa bersalah karena rengekan anak yang minta jajan dan istri yang meminta jawaban. Kamu tidak terpikir untuk meminta bantuan atau pendapat istri karena laki-laki, menurutmu, harus bisa menyelesaikan semuanya sendiri. Saat semua buntu, kamu merasa putus asa dan depresi. Pikiran negatif untuk mengakhiri hidup semakin membayangi; setidaknya dengan begitu kamu tidak perlu membebani anak istri dan kamu bisa lepas dari tekanan menjadi laki-laki sejati.


APAKAH INI ENGGA MENGADA-ADA ?


Data dari World Health Organization (WHO) di tahun 2016 menunjukan bahwa dari sekitar 793,000 kasus bunuh diri didominasi oleh laki-laki. Banyak ahli yang berpendapat bahwa laki-laki rentan untuk stress, depresi, dan akhirnya bunuh diri karena mereka kerap tidak bisa mengekspresikan emosi secara terbuka; bahwa mereka harus tegar sepanjang waktu.


APAKAH SE-SIMPLE “TIDAK MAU SHARE? TIDAK BISA BEREKSPRESI ?”


Jawabannya tidak.

Toxic Masculinity merupakan bentuk dari nilai-nilai sosial yang sudah lama dilakukan oleh masyarakat. Apakah kamu familiar dengan “BOYS DON’T CRY” ? ajaran seperti inilah yang membuat Toxic Masculinity menjadi berbahaya. Sejak kecil, laki-laki sering diajari untuk tidak mengekspresikan emosi mereka. Ajaran ini terus menerus ditanamkan sampai mereka dewasa dan mengajarkan hal yang serupa kepada anak-anak mereka. Sehingga, lingkaran Toxic Masculinity sangat sulit untuk dihentikan.


JADI, APA YANG BISA KITA LAKUKAN ?


Banyak upaya-upaya yang kita dapat lakukan untuk mengurangi Toxic Masculinity disekitar kita. Kita bisa memulai dari hal yang paling sederhana, yaitu: menjadi teman yang baik. Menjadi teman yang dapat memberi dukungan dan mau mendengarkan keluh kesah dari seorang laki-laki, tanpa menghakimi atau membuat orang tersebut merasa tidak jantan marupakan suatu hal penting. Kita harus lebih sering mengadvokasi bahwa maskulinitas bukan berarti menutupi ekspresi emosional. Laki-laki yang maskulin adalah laki-laki yang tahu akan kemampuan dirinya, dan bisa meminta bantuan ke orang lain saat membutuhkan. Sedangkan kita sebagai teman, harus bisa lebih sensitif terkait dengan hal tersebut.


Jangan lupa untuk membaca kelanjutan dari artikel ini, yaitu BOYS WILL BE BOYS: Berkenalan dengan Toxic Masculinity (Part.2) yang akan membahas pengaruh toxic masculinity terhadap orang lain, seperti: kekerasan berbasis gender.

46 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua

Kommentare


bottom of page